Ilham Habibie: Maju di Pilkada Jawa Barat Jadi Pengalaman Luar Biasa
Economix.id – Bukan hal yang mudah menyandang nama Habibie. Di Indonesia, nama itu serupa legenda. Ia menjadi tolak ukur kejeniusan. Simbol kemajuan teknologi sekaligus pintu gerbang demokrasi.
Dalam periode yang singkat saat memimpin Indonesia setelah kejatuhan Soeharto, B.J Habibie melakukan banyak hal yang melekat di masyarakat. Ia menggelar karpet merah demokrasi lewat Undang-Undang Partai Politik dan UU Pemilu. Membuka keran kebebasan pers, membebaskan tahanan politik, hingga memfasilitasi referendum Timor Leste.
Nama Habibie juga masuk ke ranah populer. Kisah cintanya dengan Hasri Ainun dinarasikan di layar lebar dan ditonton sekitar 4,6 juta orang, menjadikannya salah satu film lokal terlaris sepanjang masa.
Legenda itu telah tiada, tetapi namanya abadi. Putra sulungnya, Ilham Habibie kini meneruskan estafet dan mimpi besar ayahnya untuk kemajuan Indonesia. Katadata berkesempatan mewawancarai Ilham di Wisma Habibie-Ainun di kawasan Patra Kuningan, tempat sakral yang dulu menjadi tempat tinggal orang tuanya.
Dalam suasana tenang dan santai, Ilham menerima Tim Katadata di perpustakaan Wisma yang dekorasinya diatur sedemikian rupa, membuat pengunjung seolah berada di dunia fiksi Harry Potter.
Kami berbincang banyak hal. Ilham bercerita perannya di Habibie Center–lembaga think tank yang didirikan keluarganya–hingga soal perubahan iklim dan kondisi terkini Indonesia. Ia bahkan menyinggung soal Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang baru menggantikan Sri Mulyani.
Di akhir perbincangan, ia juga berbagi soal pengalamannya maju dan kalah di Pilkada Jawa Barat. “Buat saya itu pengalaman luar biasa. Saya suka kok,” katanya.
Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana cerita pendirian The Habibie Center?
Pertama, saya termasuk pendiri The Habibie Center (THC). Waktu THC didirikan tahun 1999 oleh bapak [B.J Habibie], ibu [Hasri Ainun], saya, dan adik [Thareq Kemal Habibie]. Setelah THC didirikan, saya kemudian menjadi Ketua Institut Demokrasi, Sains, Teknologi, dan Edukasi. Jadi, aktivitas saya di situ bukan suatu hal yang mendadak, tapi sudah puluhan tahun.
Sejak awal THC fokus di isu demokrasi. Demokrasi dan HAM, demokrasi dan ekonomi, demokrasi dan saintek. Jadi, bukan hanya sains dan teknologi karena di THC tidak ada peneliti sains dan teknologi. No. Yang ada, orang yang membuat white paper dan policy advokasi terkait dengan demokrasi dan tema-tema lainnya. Jadi, kalau dibilang politik dan ekonomi, tidak sepenuhnya tepat. Jadi, kesamaan dari semua tema yang ada di dalam Habibie Center, selalu demokrasi.
Mengapa keluarga Anda mendirikan THC? Apa alasannya?
Saat itu bapak memutuskan untuk tidak lanjut ke dunia politik. Maksudnya tidak mau lagi menjadi kandidat, walaupun padahal sudah dipersiapkan. Tapi, bapak tetap merasa bahwa proses demokratisasi Indonesia masih di tahap awal. Jadi, kami merasa perlu ada wadah yang mendampingi itu. Dan itu adalah Habibie Center.
Sebelumnya kan ada yang kita sebut sebagai demokrasi terpimpin. Nah, demokrasi terbuka itu dimulai dengan reformasi pada masa Bapak. Tentu kami tidak ingin berakhir di situ.
Bagaimana Anda melihat perjalanan THC selama 26 tahun terakhir?
Pertama, produk kita itu white paper dan policy advokasi. Kemudian, kita juga sering menggelar acara-acara diskusi. Jadi tidak bisa dikatakan ini langsung berdampak karena itu kan prosesnya biasanya kompleks dan multipihak. Bukan kita saja, juga dengan teman-teman lainnya.
Jadi, perlu selalu ada upaya yang lebih, proses yang lama, banyak partisipan, karena dibentuk koalisi, lalu ada proses yang panjang. Sebagai contoh, kalau kita membuat undang-undang, kan ada RUU dulu, dan sebagainya, dan PANJA. Itu juga lama sekali. Interaksi satu lembaga seperti Habibie Center dengan proses itu juga multidimensional.
Saat ini posisi Anda di The Habibie Center seperti apa?
Saya ketua Dewan Pembina yang mengawasi secara makro saja. Maksudnya gini, saya tidak menjalankan, saya juga tidak mengawasi, karena ada di dalam kan sebetulnya ada tiga Dewan.
Dewan Pengurus, mereka yang menjalankan. Ada Dewan Pengawas, mereka yang mengawasi. Kalau di perusahaan sebutannya seperti komisaris. Saya Dewan Pembina yang salah satu kewenangannya adalah boleh mengubah Dewan Pengawas dan Dewan Pengurus. Itu kalau dalam perusahaan seperti pemegang saham.
Tapi dalam yayasan tidak bisa disamakan, karena yayasan tidak ada yang memilikinya. Yayasan itu memiliki dirinya sendiri, tidak dimiliki seseorang atau investor. Jadi tugas saya adalah untuk memastikan THC ini berjalan ke arah yang benar. Tapi saya seringkali juga memang memberikan ide baru. Tapi bukan keharusan
Saya memang kasih masukan. Saya juga kadang-kadang berpartisipasi dalam suatu event dengan memberi satu pidato dalam diskusi. Juga internal-eksternal. Saya juga pernah mendirikan beberapa institusi seperti Institut Demokrasi dan HAM. Institut Demokrasi, Ekonomi, dan Teknologi. Institut Demokrasi, Sains, Teknologi, dan Inovasi.
Anda sempat menyebut soal perubahan iklim dalam pidato. Apakah ini juga menjadi fokus THC?
Kalau yang terkait dengan iklim itu murni ide dari saya. Itu saya mulai dengan teman-teman dari Jerman. Ada satu organisasi namanya F20 yang mengajak saya untuk ikut bergabung. Akhirnya saya ajak THC dan beberapa lembaga lainnya juga. Jadi tema iklim di THC itu memang dimulai dari saya.
Bagaimana Anda melihat isu perubahan iklim?
Itu isu kompleks. Pertama, sebagai NGO kita lebih ke advokasi mungkin ya. Salah satu yang krusial tentu harus ada transisi ke energi terbarukan yang dilakukan secara adil. Ada yang disebut JETP atau Just Energy Transition Partnership. Jadi ada kemitraan dengan beberapa negara terutama dengan G7 dan dipimpin oleh dua negara, yaitu adalah Jerman dan Jepang.
Awalnya Amerika dan Jepang. Amerika sudah pamit karena ada perubahan kebijakan, dan sekarang diganti oleh Jerman. Disitulah peranan kita melalui forum F20. Ini juga semacam advokasi. Makanya setiap kali ada acara G20, di sela-sela G20, pasti ada acara F20. F20 by the way itu bukan di bawah G20. Dia independen.
Menurut saya harus ada kolaborasi karena iklim ini kan tanggung jawab global. Jadi, kalau kita tidak berkolaborasi dengan semua negara di dunia ini, masalah iklim enggak akan selesai. Jadi, iklim tidak mengenal negara atau bangsa.
Selain energi terbarukan, tentu ada kata kunci lain yang juga harus kita perhatikan, walaupun itu belum menjadi fokus utama di F20. Misalnya, bagaimana dengan ekonomi sirkular, ekonomi regeneratif, dan kalau lebih detail lagi, bagaimana dengan masalah sampah, dan sebagainya, banyak sekali. Dan kalau kita bicara juga mengenai, itu juga temanya, mengenai transisi energi yang adil, itu juga akan ada kaitan dengan misalnya green jobs.
Karena kita akan beralih ke satu ekonomi berdasarkan energi terbarukan, maka banyak pekerjaan itu akan terpengaruh. Misalnya, kalau kita bekerja di satu tambang batu bara, kalau batu baranya sudah tidak lagi dimanfaatkan, tambangnya tutup, bagaimana dengan orang yang bekerja di situ?
Kalau saya dengar dari teman-teman di industri, rencana implementasi energi terbarukan terutama di tenaga surya kurang lebih 900 MW di Indonesia. Tapi yang berhasil dipasang hanya 300 MW. Salah satu isunya karena profesi yang bisa memasang PLTS itu masih kurang. Artinya akan jadi peluang pekerjaan baru.
Jadi bukan saja soal pembangkit listrik, tapi juga instalasinya, implementasinya, ada mungkin aspek perawatannya, ada aspek inspeksinya, banyak sekali. Itu di Indonesia SDM-nya masih kurang. Bukan hanya dari segi jumlah, dan juga kualitas.
Kita tahu punya Indonesia punya target SDGs 2030. Bagaimana dengan strategi SDGs pemerintah, apakah mungkin bisa tercapai di tahun 2030?
Tidak bisa, aspek SDGs seluruhnya kan banyak sekali. Misalnya salah satu aspek SDGs kan zero poverty. Ya nggak mungkin zero poverty di tahun 2030. Definisi poverty itu apa dulu. Kita perlu perhatikan yang disebut sebagai absolute poverty atau tidak.
Definisi dari segi kemiskinan kan beda di Indonesia dibanding dengan standar di luar. Jadi, ya saya nggak berani menjelaskan ini. Tapi perasaan saya kemungkinan kita penuhi semua SDGs pada tahun 2030 mungkin ini kecil.
Indonesia selama ini bergantung pada industri ekstraktif, bagaimana Anda melihatnya dalam peta jalan transisi?
Saya kira pada umumnya tidak bisa sepenuhnya meninggalkan sektor ekstraktif. Karena kalau enggak ada sama sekali dari mana kita dapat logam? Untuk barang-barang tertentu enggak semuanya bisa dibuat dari plastik. Untuk plastik pun juga perlu industri ekstraktif.
Jadi, pertanyaannya bukan untuk menghilangkan, tapi untuk membuat industri ekstraktif itu lebih hijau. Jadi, misalnya energi yang mereka perlukan itu juga semakin banyak dari energi hijau.
Misalnya, banyak truk yang dipakai mulai dielektrifikasi. Atau juga menggunakan energi terbarukan dalam prosesnya. Ambil contoh nikel. Ini kan sebetulnya bagian dari komponen yang diperlukan untuk baterai. Jadi, di satu pihak ekstraktif, tapi juga jadi bagian dari strategi untuk membuat dunia ini lebih ramah lingkungan. Jadi, enggak mungkin kita menghilangkan nikel. Pasti selalu akan ada.
Kuncinya dihijaukan, lebih dihijaukan. Tapi memang yang akan kita lihat, untuk batu bara, mungkin akan jauh berkurang. Minyak dan gas juga berkurang. Di mana, kalau kita bandingkan minyak dan gas, masih lebih ramah lingkungan gas daripada minyak. Tapi, minyak pun juga enggak bisa akan hilang seluruhnya, karena diperlukan untuk industri petrochemical.
Ada plastiknya, ada juga yang lain. Asal diolah dengan baik, dan setelah tidak lagi digunakan, plastiknya harus diolah kembali. Itu yang saya tadi maksudkan ekonomi sirkular.
Tapi masalahnya kan, banyak plastik yang kita gunakan sebagian dibuang begitu saja. Akhirnya menjadi masalah buat laut, sungai, buat tanah. Terlalu banyak plastik yang tidak diolah sama sekali. Tapi plastik sendiri, kalau diolah, oke. Tapi harus diolah.
Bagaimana Anda melihat kebijakan ekonomi Indonesia saat ini? Terutama setelah pergantian Menteri Keuangan?
Saat ini saya kira fokus dari pemerintah lebih mendorong ekonomi kita untuk bertumbuh dengan lebih baik dan juga untuk menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan yang bermanfaat untuk masyarakat kita.
Tentu, karena kita hidup di tahun 2025, pertumbuhan ekonomi itu secara paralel harus memperhatikan aspek-aspek lingkungan. Misalnya kalau berinteraksi dengan perbankan sekarang mereka punya kriteria yang namanya ESG (Environment, Social, Government).
Jadi secara tidak langsung, perhatian pelaku bisnis terhadap aspek lingkungan itu akan menguat karena ada peraturan-peraturan yang memang mengharuskan itu. Tinggal sekarang kita lihat seperti apa standar internasional yang kita kenal sebagai ESG itu diterapkan dan digunakan di Indonesia.
Nah untuk menteri baru [Purbaya Yudhi Sadewa], saya dengar dia orangnya memang ceplas-ceplos. Ini perlu diperhatikan karena seorang Menteri Keuangan akan sangat disorot dari sisi pemilihan kata, artikulasi. Itu semua diperhitungkan aspek psikologinya.
Saya sebetulnya juga agak kaget. Yang saya lihat, reaksi dari dunia bisnis banyak yang optimistis juga karena sepertinya selama ini Bu Sri Mulyani lebih berperan sebagai ‘penjaga gawang’. Saya tidak meragukan beliau sebagai seorang profesional karena Bu Sri Mulyani memang sudah terbukti.
Tapi sepertinya beliau selalu lebih defensif daripada inovatif. Nah, banyak pelaku bisnis bilang ke saya penggantian beliau ada bagusnya juga karena kadang kita membutuhkan perubahan dan inovasi.
Bagaimana pendapat Anda mengenai program-program unggulan Presiden Prabowo saat ini?
Kalau kita lihat dari interpretasi saya, itu adalah program-program yang dimaksudkan untuk punya dampak besar kepada banyak orang. MBG itu jutaan makan siang gratis. Rumah baru itu kan 3 jutaan. Kemudian ada koperasi Merah Putih. Terus ada medical check up. Itu kan melibatkan jutaan orang.
Jadi ini adalah program-program yang didesain untuk mempunyai dampak luas kepada masyarakat kita. Nah sekarang ini kan baru mulai. Saya kira alangkah baiknya program itu juga punya dampak ekonomi sehingga ada semacam snowball effect.
Tapi saya kira begini. Boleh dikatakan itu adalah program-program populis dengan filosofi mau memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Itu bagus dari segi humanis.
Pertanyaannya apakah secara ekonomis itu bisa menjadi pendorong baru ekonomi? Saya kurang tahu. Karena di saat bersamaan ada beberapa program lainnya yang dikurangi anggarannya. Misalnya di pembayaran dari pusat ke daerah. Itu kan juga penyebab beberapa daerah di level provinsi atau kabupaten tiba-tiba dia menaikkan pajak.
Tapi yang jelas, ada yang harus dikorbankan karena ekonomi kita kan pertumbuhannya berkurang sedikit. Nah ini tergantung kita lihat data yang mana. Tapi data dari pemerintah adalah 5,12%. Tapi kalau dihitung, ada yang bilang sepertinya tidak seperti itu. Saya bukan ekonom, saya enggak tahu. Saya hanya bisa mengulang apa yang saya baca.
Anda pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur dalam Pilkada Jawa Barat, meskipun belum berhasil. Apakah masih memiliki ambisi politik?
Iya, tahun lalu untuk saya pertama kalinya saya masuk ke dunia politik aktif. Sebetulnya saya sudah aktif puluhan tahun di Partai Golkar, tetapi hanya di internal. Bukan sebagai pelaku langsung di panggung politik.
Nah, kemudian saya memutuskan untuk mencoba mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur di Jawa Barat. Saya dapat sekali banyak pengalaman dan pembelajaran.
Ke depan, apakah saya mau masuk lagi ke politik atau enggak, saya kira hanya bisa diputuskan kalau sudah mengerti situasi dan kondisi. Tapi paling tidak saya sudah punya bekal untuk bisa menilai apakah ada peluang. Dan kalau pun ada, seperti apa bisa mendapatkan peluang tersebut. Juga dengan siapa, dengan strategi apa dan sebagainya.
Sekarang pengalaman di Jawa Barat itu banyak membuka mata saya terhadap hal yang sebelumnya saya tidak tahu. Saya punya begitu banyak kesempatan untuk bertemu dengan banyak rakyat kita. Rakyat yang kalau enggak mencalonkan diri, saya enggak akan tahu masalah mereka. Buat saya pengalaman yang luar biasa. Saya senang. Saya suka kok.
sumber : katadata.co.id
