Budi Gunadi Sadikin: Deteksi Dini Lebih Cepat, Lebih Murah daripada Mengobati – Budi Gunadi Sadikin
Presiden Prabowo Subianto mencanangkan satu program terbaik hasil cepat untuk sektor kesehatan negara, yang dipecah dalam tiga hal konkret. Pertama, cek kesehatan gratis massal. Kedua, program percepatan eliminasi tuberkulosis. Ketiga, pembangunan rumah sakit umum daerah di daerah terpencil.
Ini bukan tugas mudah untuk Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin. BGS, sapaan akrabnya, melihat betapa pentingnya kesehatan masyarakat di mata Prabowo. Apalagi, Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi yang ambisius dan itu membutuhkan warga yang sehat.
Katadata menemui Menkes Budi Gunadi Sadikin di Kantor Kemenkes di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam ruang rapatnya, BGS menceritakan pengalamannya menjalankan program di bawah pemerintahan Prabowo Subianto.
“Presiden Prabowo ingin agar masyarakatnya sehat, bisa bekerja produktif, memiliki pendapatan supaya bisa jadi negara maju,” kata Budi kepada Katadata, Senin, 29 September 2025.
Menurutnya, cek kesehatan gratis (CKG) menjadi penting untuk tujuan itu. Deteksi dini dan pemetaan risiko penyakit warga yang baik dapat membantu pemerintah menjaga kesehatan warganya lebih baik. Tidak hanya itu, pemerintah juga dapat merencanakan anggaran kesehatan lebih tepat sasaran dan efisien.
“Menjaga masyarakat tetap sehat ini jauh lebih murah dan kualitas hidup jauh lebih baik bagi masyarakat kita,” kata menteri yang melanjutkan masa jabatannya dari pemerintahan Presiden Joko Widodo ini.
Dalam wawancara ini, Budi menjelaskan bagaimana CKG dapat menghemat pengeluaran kesehatan warga dan negara, dampaknya untuk pengurangan risiko penyakit tidak menular, serta potensi kontribusinya untuk ilmu kesehatan.
Berikut petikan wawancaranya.
Presiden Prabowo Subianto langsung memberi tiga mandat kesehatan dalam tahun pertamanya. Boleh dijelaskan apa saja ketiga program itu?
Yang pertama dan paling luas jangkauannya adalah program cek kesehatan gratis. Ini menyasar 280 juta masyarakat Indonesia.
Yang kedua adalah program percepatan eliminasi tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) ini setiap tahun menularkan ke satu juta rakyat, dan yang meninggal 134 ribu per tahun.
Program yang ketiga adalah membangun 66 rumah sakit umum daerah (RSUD) dari tipe D ke tipe C di daerah-daerah terpencil. Dalam dua tahun inilah diharapkan 66 kabupaten/kota di daerah terpencil bisa mendapatkan rumah sakit baru. Nah, ketiga program ini adalah program quick win Bapak Presiden Prabowo Subianto.
Program cek kesehatan gratis terlihat ambisius dengan target seluruh warga Indonesia. Apa yang ingin dicapai?
Presiden Prabowo ingin agar masyarakatnya sehat, bisa bekerja produktif, memiliki pendapatan supaya bisa jadi negara maju. Beliau sering menyebutnya Indonesia Emas 2045.
Nah, supaya bisa jadi Indonesia emas pendapatan rata-ratanya kan masih tinggi sekitar US$14.000 (Rp232,28 juta, kurs Rp16.590/US$). Padahal, (pendapatan rata-rata) kita kan baru sekitar US$4.800 (Rp79,64 juta). Kalau ingin pendapatannya tinggi, ya, syaratnya mesti sehat dan pintar. Itu sebabnya mengapa kesehatan juga penting di mata beliau.
Apakah ini bentuk lanjut juga dari Kementerian Kesehatan yang lebih mengedepankan strategi preventif dan promotif, ketimbang kuratif?
Strategi membuat 280 juta masyarakat Indonesia ini sehat dulu kita melihatnya lebih banyak strateginya menunggu sampai sakit kemudian diobati. Jadi, istilahnya saya mengobati orang sakit atau kuratif. Padahal, kalau kita lihat di negara-negara maju rakyatnya usianya panjang-panjang, itu artinya sehat dan biaya kesehatannya rendah. Strategi kesehatannya lebih banyak ke menjaga masyarakatnya tetap sehat. Jangan sampai sakit atau promotif preventif.
Menjaga masyarakat tetap sehat ini jauh lebih murah dan kualitas hidup jauh lebih baik bagi masyarakat kita. Nah, caranya dengan apa kalau mau preventif itu? Pertama, gaya hidup, tidurnya cukup makannya jangan terlalu banyak, olahraganya rajin. Kedua, imunisasi pada saat kecil supaya penyakit-penyakit bisa dicegah, jangan terkena dulu sampai sakit baru dicegah. Ketiga, rajin cek kesehatan.
Kesehatan yang buruk itu enggak ujug-ujug kejadian, dia butuh waktu lama. Misalnya, penyakit kronis kayak jantung, stroke, kanker yang banyak membuat kematian di masyarakat kita itu butuh waktu lama. Nah, itu kalau ketahuan dini sebenarnya bisa jauh lebih cepat, lebih mudah, lebih murah diobati dengan obat-obatan pencegahan.
Bagaimana program cek kesehatan gratis bisa membuat biaya kesehatan lebih murah?
Saya ambil contoh yang dialami seluruh masyarakat Indonesia. Contohnya, pada saat Covid-19. Kalau masih ingat dulu ada 3M: memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Kalau saya tanya, berapa sih biaya mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker? Menurut saya, enggak sampai Rp500 ribu sebulan. Karena, paling dipakai buat beli masker sama beli sabun.
Kalau kita kena Covid kita kuratif kan? Sakit, gak masuk rumah sakit tapi harus periksa dokter, minum obat, waktu itu namanya Avigan. Diisolasi itu sudah jutaan, tuh. Minimal bisa Rp1 juta sampai Rp5 juta kalau menginap di hotel karena mesti isolasi dari rumah. Kalau dia sakitnya sampai masuk rumah sakit, wah, bisa puluhan juta tuh biasanya. Apalagi kalau pasang ventilator, CT scan, segala macam, bisa ratusan juta.
Pemikiran ini bisa disetarakan dengan penyakit lain, misalnya jantung. Bagaimana caranya supaya kita enggak kena serangan jantung? Makannya diatur, olahraganya lari rajin, sama tidur yang cukup. Paling mahal beli sepatu. Misalnya, sepatu Rp3 juta, itu sudah sepatu mahal. Setahun Rp3 juta, sebulannya bagi 12 jadi sekitar Rp250.000. Itu hitungannya murah menjaga supaya kita tetap sehat agar tidak kena serangan jantung.
Tes darah tekanan darah, kan bisa diukur sendiri. Tes kolesterol sama gula, paling 500 ribu setiap enam bulan. Nah, kalau kita lakukan preventif seperti itu, uangnya cuma segitu.
Bayangkan kalau kita tunggu dulu sampai sakit, kena serangan jantung, masuk rumah sakit, sudah puluhan juta. Kalau ternyata mesti dioperasi, musti pasang ring, itu bisa ratusan juta sampai miliaran. Itu contoh konkretnya menjaga kita tetap sehat itu lebih murah daripada menunggu sampai kita sakit baru disehatkan.
Apakah pemerintah berniat membuat data-data yang dikumpulkan dari cek kesehatan gratis sebagai data dasar untuk pemetaan risiko? Selanjutnya, bagaimana memanfaatkan data ini untuk membuat pengeluaran kesehatan pemerintah lebih tepat sasaran?
Memang sekarang cek kesehatan gratis ini sudah ada 35 jutaan orang lah yang sudah kita cek. Itu untungnya karena zaman digital sekarang sudah ada datanya by name, by address. Jadi kita tahu di mana sih sakitnya mereka, orang-orang ini paling banyak dimana, dan jenis sakitnya apa gitu ya. Cara mengobatinya jadi kita juga sudah tahu dan kita bisa hitung. Misalnya, penyakit yang paling banyak ditemui, ya, gigi. Kalau gigi, bisa di-scaling, bisa ditambal, atau dicabut.
Kalau kira-kira tindakan paling banyak tambal gigi, kita bisa menghitung biayanya mungkin Rp200 ribu sampai Rp300 ribu. Misalnya, dari yang sudah kita lihat antara 30 sampai 40 persen peserta perlu tambal, ya kita tambal. Ini lebih baik daripada mereka enggak ditambal, bolong, masih dicabut pula. Itu biaya akan lebih mahal daripada ditambal. Apalagi cabutnya karena enggak bisa mengunyah, jadi musti pasang implan, jadi lebih mahal gigi. Lebih baik giginya dirawat, ditambal, jadi jangan sampai rusak hingga harus dicabut.
Bisa dibilang walau niat utamanya adalah cek kesehatan gratis, tapi efeknya ini ini bisa meluas hingga pada akhirnya menghemat pengeluaran kesehatan, menghemat anggaran kesehatan.
Apakah ada kekhawatiran tes lebih banyak dapat membuat jumlah atau prevalensi penyakit-penyakit seperti jantung dan diabetes meningkat di Indonesia? Apalagi mengingat masih banyak underreporting (jumlah kasus lebih banyak daripada yang dilaporkan) untuk kasus penyakit di Indonesia.
Penyakit jantung itu setahun meninggalnya 250 ribu. Dan pengalaman saya di Covid, kalau dicatat 250 ribu, realitasnya bisa tiga kali itu. Jadi, mungkin 750 ribu yang wafat karena penyakit jantung.
Penyakit jantung kalau ketahuan lebih dini, bagaimana? Menurut saya lebih bagus. Jadi bisa diobati lebih dini, enggak usah menunggu sampai kena serangan jantung. Kalau ada serangan jantung, kemungkinan wafatnya kalau dia tidak tertangani sekitar empat jam. Empat sampai enam jam enggak tertangani, dia meninggal.
Kalau ditanya, nanti ketahuan banyak orang yang sakit jantung, menurut saya enggak masalah. Artinya kita bisa obati cepat sebelum dia kena serangan jantung. Sama saja kalau saya punya keluarga. Lebih baik ayah saya atau kakak saya ketahuan kolesterolnya atau gulanya tinggi, sehingga bisa diobati. Daripada nunggu dulu dia kena serangan jantung.
Adanya tes lebih banyak juga bisa berarti jumlah kasus unik atau yang sebelumnya tidak begitu diteliti di Indonesia bisa ditemukan. Apakah program ini juga mempertimbangkan penggunaan datanya untuk memajukan ilmu kesehatan dan kedokteran di Indonesia?
Penelitian mengenai cek kesehatan itu sudah sangat banyak dilakukan di seluruh dunia. Jadi saya kasih contoh, misalnya di Korea Selatan, mereka mengecek orang yang punya tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi adalah penyebab sakit stroke sama jantung. Di Indonesia, stroke dan penyakit jantung adalah penyakit nomor satu dan nomor dua pembunuh paling besar.
Di Korea, dia lihat ternyata dulu yang punya darah tinggi banyak banget. Darah tinggi itu ada obatnya, diminum tiap hari namanya Amlodipine. Obatnya murah banget, mungkin sebulan enggak sampai 100 ribu untuk dosis tiap hari.
Obat ini untuk tekanan darah tingginya jadi normal, terkontrol. Begitu di Korea diteliti, dicoba, ternyata orang yang meninggal stroke sama jantung turun drastis. Ini masuk jurnal-jurnal penelitian luar negeri. Ini sebabnya banyak negara menggeser juga daripada menunggu sampai jatuh stroke yang mortalitasnya tinggi dan mahal perawatannya, mending ukur tekanan darah setiap hari. Kalau sudah tinggi, minum Amlodipine.
Di Indonesia, data-data seperti itu belum banyak. Akibatnya, penelitiannya enggak ada. Dengan adanya cek kesehatan, kita dilatih di sini. ‘Kan datanya masuk semua nih. Misalnya, sesudah dicek ternyata ada darah tinggi, gula tinggi, atau kolesterol tinggi, dia harus ada tata laksana obatnya. Itu bukan untuk sakit, bukan untuk menyembuhkan, tetapi untuk mengendalikan faktor risiko agar jangan sampai sakit.
Nanti kalau kita sudah cek kesehatan gratis, kita berikan obatnya, kita lihat yang tadinya tekanan darah tinggi enggak terkontrol, yang jadinya terkontrol berapa banyak. Yang tadinya tekanan darah tinggi, kemudian stroke sama jantung berapa banyak, sekarang setelah terkontrol kena stroke sama jantung berapa banyak. Dengan ini, kita bisa memiliki data dan penelitian sama seperti di negara-negara maju.
Sebelumnya, kami menemukan sejumlah masalah terkait kuota terbatas, kekurangan SDM, serta masih sulit menggaet peserta untuk cek kesehatan. Apakah masalah ini sudah tertangani dan apakah ada masalah lain selama prosesnya?
Waktu itu lebih ke pada saat kita mulai, memang belum siap infrastruktur sama orang-orangnya. Tapi kita bisa bereskan dalam sebulan, karena kita memanfaatkan 10 ribu puskesmas yang sudah ada sekarang. Itu tinggal masalah sosialisasi dan edukasi mulai naik tuh screening-nya.
Terus waktu itu kita lihat juga, kita awalnya membatasi pas bulan ulang tahunnya diajak. Jadi itu yang masuknya juga ternyata terbatas. Akhirnya kita buka semuanya asalkan setahun sekali, itu naiknya tinggi sekali. Jadi naik tuh 0 per hari, ke 20 ribu per hari, sampai 200 ribu per hari. Terakhir, kita buka untuk anak-anak sekolah. Kita buka tetapi tidak di puskesmas ceknya, langsung di sekolah. Lebih efisien, lebih banyak. Itu langsung naik sekarang sampai 500 ribu per hari ini.
Memang masih saya juga dengar ada beberapa orang yang masih ragu nanti kelihatan penyakitnya apa. Nanti kalau ada yang belum terjangkau, kita kejar. Itu kan masalah edukasi aja. Buat saya yang penting adalah begitu udah diskriminasi ketahuan ada faktor risiko, ini yang harus dikasih obat. Masyarakat merasakan manfaatnya.
Apakah masih ada kendala kekurangan tenaga kesehatan? Kita beruntung karena puskesmas sudah ada 10 ribu, dokter, perawat, bidannya cukup banyak. Jadi memang sekarang mereka kelihatan lebih sibuk, tetapi juga senang. Ini memang tugas yang mereka impikan dulu. Teman-teman puskesmas tahu tugasnya promotif preventif, menjaga masyarakat tetap sehat, bukan hanya obati yang sakit.
